Thursday, July 26, 2007

Ilham : buah istighfar di Gunung Halimun

Saudaraku, aku ingin berbagi mengenai kesadaran terhadap kesalahan diri, yang berbuah kemampuan untuk mencapai tujuan dengan selamat. Pengalaman ini bercermin pada saat diriku mendaki Gunung Halimun.

Pada saat ini usia ku 33 Th, tinggi 167 Cm dan berat hampir 100 Kg. Dengan berbekal semangat dan niat yang ikhlash aku mencoba untuk mendaki ketinggian gunung Halimun. Walaupun ada gangguan di hati karena fisik yang kurang mendukung ( over weight body) dan keletihan karena lembur-lembur di kantor -- ah luar biasa sekali. Kalau dipikir, kerjaan terus menerus mengalir tiada habisnya. Kalau tidak di stop kapan lagi bisa menikmati udara murni segar tanpa polusi di tengah ketinggian dan keindahan Alam. Subhanalloh. Saudaraku, keraguan itu coba kutepis karena tahun lalu pernah kusinggahi Gunung Gede dengan selamat.

Ekspedisi yang pernah aku lakukan bersama teman-teman seperjuangan untuk menaklukan Gunung Gede melalui jalur yang sangat sulit, yaitu melalui jalur gunung putri, bukan dari Cibodas sebagaimana para wisatawan melakukannya. Dalam benak ku jalur ini adalah jalanan yang sangat berat, karena tanjakan yang nggak ada habisnya dan kemiringan diatas 45 derajat. Apalagi pada saat hampir menuju puncak rata - rata kemiringan mencapai 80 derajat. Walaupun terseok-seok, Alhamdulillah sampai juga di puncak.

Karena pengalaman di gunung Gede tahun lalu itu, dan merasa umurku masih belum terlalu tua, timbullah sejumput kesombongan dalam hatiku ketika mendaki Gunung Halimun. Inilah pula yang membuat rusaknya niat yang ikhlash, sehingga timbul aktifitas saling mengejek, bergurau tentang kekuatan teman satu kelompok. Walaupun gurauan yang kami lontarkan kukira masih dalam batas-batas kewajaran untuk ukuran umum, tidak ada makian satu sama lain, tidak ada sama sekali, hanya GURAUAN. Misalnya ketika aku bergurau terhadap seniorku yang usianya 41 Th. “Mas, bawaan jangan terlalu berat lho, kayak tahun lalu. Padahal makanan disimpen untuk sendiri khan ? Nggak bagi-bagi sama temen. Jadinya sampeyan ngos-ngosan, trus ngerepotin temen. Pokoke kalau kram kakinya, jalan sendiri ya”. Yang ku tembak cuma mesem-mesem, dan ngedumel sendiri sambil mikir gimana caranya mbales ejekan temennya. Memang beliau paling sering ku jadikan sasaran gurauan gara-gara jalannya paling lambat he he.

Ketika terdengar suara pimpinan regu menginstruksikan keberangkatan kami pada waktu sore, semua siap siaga dan bergerak beraturan sesuai urutan keberangkatan. Kebetulan kelompokku kebagian urutan kedua keberangkatan, “Alhamdulillah bisa cepet sampe nih pikirku”. Langkah tegap menghiasi perjalanan kami, senyum tersungging di bibir tanda kesiapan mental kami. Keyakinan untuk melalui 6 bukit turun naik menuju puncak Halimun sangat kuat. Mengutip teori dari instruktur bahwa setengah jam pertama merupakan siksaan bagi para pendaki, karena paru-paru kita sedang menyesuaiakan untuk melakukan usaha yang keras. Ketika terlewati ambang batas tersebut dan tubuh sudah beradaptasi maka perjalanan kaki yang jauh tidak akan membuat tubuh menjadi rusak.

Perjalanan pertama kami masih melalui pemukiman penduduk, tegalan sawah kami lewati, sungai kecil mengiringi kami, gemerciknya mengundang untuk turun ke dalamnya. Setelah satu jam terlewati, jalanan semakin menanjak, tapi bukit pertama pun belum muncul dihadapan kami. Nafas mulai memburu, kaki semakin pegal. Ada beberapa orang yang kembali karena tidak kuat mendaki. Tapi semua berlalu, sekarang masing-masing pribadi berjuang untuk mempertahankan diri agar tidak merepotkan orang lain dan berjuang untuk mempertahankan kelompok agar tidak tercerai berai.

Keadaanku pun tidak terlalu baik. Satu setengah jam telah berlalu tapi paru-paruku belum bisa menyesuaikan. Permohonan untuk berhenti dan beristirahat sering aku lontarkan kepada kelompok supaya diriku bisa beristirahat. Tapi hal ini malah membuat perjalanan terhambat, membuat orang lain menderita karena harus menunggu. Jalan jadi macet (pernah melihat kemacetan di gunung ? ya itu yang sedang kualami saat itu). Waktu semakin merambat , mulai di bukit pertama tanjakan juga semakin tinggi. Yang menolong dalam perjalanan halimun kali ini adalah, karena setelah jalan menanjak ada juga jalan yang menurun. Tidak seperti di gunung Gede via gunung putri hampir sama sekali tidak ada jalan menurun. Sudah banyak doa yang dibisikkan. Ucapan Subhanalloh ketika jalan menurun dan ucapan Alloh Maha Besar ketika jalan mendaki terus dilantunkan. Tetapi kekhawatiran semakin meningkat. Bukan hanya nafas yang terganggu tapi juga semua indra semakin payah. Malam menjelang, kepekatan membayang. Kaki terasa menegang dan aku khawatir makin lama bisa kejang/kram. Bayangan menakutkan mulai mengikuti. Tiada catatan dalam hidupku bahwa ketika mendaki bukit atau gunung dengan dibopong. Malu rasanya.

Permohonan agar diberi kekuatan terus kuupayakan. Hampir saja diriku berburuk sangka bahwa Alloh ingin mempermalukan diriku dihadapan teman-temanku. Tapi kekuatan yang kutunggu-tunggu tak kunjung tiba. Malah temanku tadi itu yang kondisi awalnya sama denganku, bersorak girang karena beliau mendapatkan second energy untuk mencapai puncak pendakian. Terbukti beliau selalu mensupport diriku agar semangat dan tetap berjalan sampai puncak, dengan teriakannya yang lantang. Aduh, hatiku terasa bercampur aduk. Ya malu, marah kepada diriku, dan takut kalau tidak bisa sampai di puncak. Hampir saja terjadi halusinasi, karena jalanan gelap dan pekat -- mungkin tidak perlu diceritakan disini apa yang terjadi. Alhamdulillah, lantunan dzikirlah yang membuatku senantiasa berfikir jernih.

Ketika kemarahan terhadap lingkungan dan diriku mereda, mulailah berganti dengan rasa pasrah. Apa yang terjadi biarlah semua terjadi, baik itu memalukan maupun tidak. Sudah kulucuti semua kesombongan yang tadi sempat melekat. Ku ganti dengan permohonan ampun. Istighfar kujejalkan dalam hati ku. Kondisi demikian membantuku untuk berfikir, memikirkan apa yang sudah terjadi di waktu lalu. Astaghfirulloh, aku mohon ampun atas semua kesalahan, baik kesalahan yang terjadi pada saat sebelum pendakian ke Gunung Halimun ini (bergurau, mengejak, merendahkan oran lain dll ), maupun kesalahanku yang terdahulu. Aku menangis tanpa berbunyi. Hanya mataku yang basah dengan air mata. Teman-teman lain tidak melihat karena suasana sangat gelap dan masing-masing sibuk berusaha agar senantiasa berjalan ke depan. Dan aku salut terhadap kekompakan kelompokku. Walaupun diriku kepayahan, mereka senantiasa menunggu. Itulah gunanya teman, dan itu pulalah gunanya saudara.

Dari kejadian itu hatiku semakin jernih, akal pikiranku pun berjalan. Aku mencoba mengingat apakah ada cara agar diriku bisa bertahan dengan kondisi demikian. Lalu sekelebat aku mengingat ucapan instruktur, bahwa pangkal kekuatan untuk mendaki adalah kekuatan kaki. Apabila kaki terluka, maka akan bertambah sulitlah untuk mencapai ke puncak. Luka disini adalah bukan hanya luka tergores, akan tetapi bisa juga luka karena terkilir atau nyeri bagian dalam karena kaki tidak kuat menahan beban. Beliau mencontohkan bahwa bakul-bakul pasar yang menyunggi beban berat di kepala, ketika berjalan jalannya melangkah kecil-kecil, tidak lebar-lebar. Hal ini bertujuan untuk mengurangi beban di kaki agar bisa mencapai jarak tempuh yang jauh. Pemikiran ini pun bertambah kaya, dengan seruan salah seorang temanku yang berjalan di belakang, agar aku melangkah kecil-kecil saja. Kalau perlu jaraknya hanya satu kali sepatu atau satu kali tapak kaki.

”JARAK SATU SEPATU”. Kalimat ini terus terngiang di telingaku, dan aku coba untuk melakukannya. Untuk mengurangi luka kram di kakiku hal itu sangat masuk akal. Dengan melakukannya aku berharap agar kakiku bisa sembuh dari rasa kejang. Tapi kalau dipikir dengan melangkah hanya berjarak satu sepatu, kapan sampai ke puncaknya ? Bismillah ku ucapkan. Sebelum melakukan hal tersebut, aku berunding dengan pimpinan regu dan teman yang berada di belakangku, bahwa aku sanggup berjalan dengan sedikit istirahat, dengan catatan bahwa aku akan melangkah seperti siput -- pelan tapi pasti. Di tengah kegamangan bahwa cara ini akan membuat sampai dengan cepat ke puncak, pelan pelan kekuatanku tumbuh kembali. Rasa nyeri di kaki berangsur-angsur hilang. Kalau pegal dan capek biasa lah, namanya juga mendaki gunung.

Alhamdulillah. Dengan melangkah kecil-kecil tapi pasti, rutinitas tarikan nafasku mulai berjalan teratur sehingga asupan energi dapat tersalurkan dengan baik ke kaki. Rasa nyeri pun tidak lagi terjadi. Hanya pada saat meloncat aku harus berhati-hati agar tidak ada hentakan yang lebih sehingga terjadi trauma kembali di kaki. Di bukit kedua aku memperoleh ilham bagaimana caranya mendaki untuk kondisiku. Bukit ketiga, empat, dan bahkan bukit kelima yang memiliki tanjakan dengan kemiringan 80 derajat -- sampai-sampai aku harus merangkak untuk mendakinya, alhamdulillah bisa terlewati dengan baik. Wajah kembali berseri, sinar semangat kembali datang. Kegelapan malam tidak terasa pekatnya dengan adanya rembulan di hati. Wahai puncak Halimun, aku datang dengan kesadaran, tanpa membawa kesombongan.

Tidak terasa, perjalanan kami serasa pasti. Kelompok kami jarang beristirahat. Banyak kelompok lain terlewati karena banyak waktu digunakan untuk beristirahat. Pada saat mendaki gunung, dikarenakan jarak yang sangat jauh dan kondisi angin gunung yang dingin, terlalu banyak berhenti untuk istirahat akan membuat perjalanan semakin lama dan membuat badan menjadi membeku. Maka terjawablah pertanyaanku tadi : kapan aku akan sampai ? Dan semakin kusadari bahwa pekerjaan yang walaupun sedikit tapi dilakukan secara konsisten akan menghadirkan hasil yang luar biasa. Ibarat setetes air yang menjatuhi seonggok batu, apabila dilakukan terus menerus maka suatu saat batu tersebut akan tembus. Ketika dalam keadaan payah, banyak dari kami yang bertanya kapan akan sampai. Tapi setelah banyak berjalan jauh, kami tidak peduli kapan akan sampai. Yang kami tahu hanya bahwa kami harus terus berjalan.

Seberkas sinar datang dari langit, seakan tiada penghalang pepohonan yang kami temui dalam perjalanan. Teriakan "Allohhu Akbar, Alloh maha besar", berkumandang dari teman kelompokku yang paling depan. ”Kita sudah sampai !” Aku pun membalas dengan teriakan yang sama : AllohuAkbar !! Dengan rasa syukur yang meluap dari dalam dada. Seraya menyadari bahwa aku punya perasaan bahwa aku tidak percaya telah sampai di puncak. Hilang semua kepenatan. Kunikmati sensasi kebahagiaan dengan berdzikir. Walaupun besoknya kami baru tahu harus berjalan dengan jarak yang sama untuk menuruninya.

Kami memasuki tenda yang sudah disediakan dan tercatat sebagai kelompok nomor dua memasuki puncak Halimun. Setelah berbenah agar angin dingin tidak masuk ke kemah, kemudian berganti dengan pakaian kering, terus sholat magribh dan Isya berjamaah. Terakhir kami pun tidur untuk merehatkan badan ini agar kuat turun ke bawah. Alhamdulillah, satu proses sudah kami hadapi, hayati dan nikmati...............

--> Asli ditulis oleh my beloved husband, sepulang dari Gunung Halimun dan setelah melewati rakor terlama sepanjang sejarah. (dengan sedikit editing dari pemilik blog denk, hehehe...)

My Great Team

Team saya yang perempuan ada 3 orang selain saya. Dan masing masing, alhamdulillah, sangat hebat di bidangnya. Saya mo cerita 2 dari mereka.

Yang pertama namanya Iis. Tugas utama untuk urusan toko, baru bantuin ngurusin rumah sama anak-anak. Yang kedua namanya Mudr. Tugas utamanya ngurusin semua tetek bengek rumah.

Iis ini, sudah setahun ikut aku. Pengalaman kerja sebelumnya serabutan. Sebelum di tempatku, belum pernah kerja di satu tempat lebih dari 3 bulan. Kerjanya masih rada lelet. Kalo standardku untuk kerja nilainya minimal 6, dia dapat nilai 7. Kelebihannya, dia mau belajar, mau diajarin.

Mudr, hampir sebulan kerja di tempatku. Kerjanya bagus, cepet, rajin. Bisa masak macem macem. Untuk standard nilai yang sama dengan Iis, dia dapat nilai 9.

The problem is... Iis kerja utamanya di toko. Jadi dia berangkat ke toko jam 09.00, terus baru sampai rumah lagi jam 21.00. Terus pagi kudu bantuin Uthi siap siap sekolah. Terus masih harus nyiapin stock yang musti dibawa ke toko. Yach... kalo menurutku, Iis sudah cukup capek. Dia butuh time space untuk istirahat.

Sementara di sisi lain, Mudr sangat rajin. Dia kerja di rumah, pada waktu dimana Iis bisa istirahat. Padahal Iis gak istirahat juga, hanya karena perbedaan nilai tadi, jadinya Iis tampak 'malas' di mata Mudr. Akibatnya, hal hal kecil yang tidak dilakukan Iis, jadi tampak di mata Mudr. Dan being a problem. The point is, kalo problem kecil kecil ini dibiarin, aku khawatir suatu saat akan meletup... meledak...

Tapi aku jadi binun. Aku memaklumi Iis. Sungguh. Menurutku, cuman kerja di toko doank aja cukup bikin capek. Apalagi tiap hari, 9 pagi sampai 9 malem, 12 jam lho.... Apalagi paginya ada tugas juga ngurusin Uthi, juga tiap hari. Mo nganggur juga, kalo nganggurnya di toko khan tetep aja gak nyaman. Tetep aja bikin cape. Ya gak...

Tapi aku juga memaklumi Mudr. Karena dia sangat rajin. Wajar kalo dia ngeliat Iis 'belum' kerja. Dengan waktu yang sama, Mudr nyelesain 10 kerjaan, mungkin Iis baru 6. Mudr ini, kerjaan yang 'extra ordinary', yang gak rutin, yang kalo Iis musti disuruh dulu, kalo Mudr bisa langsung otomatis. Misalnya aja kayak ngebersihin kulkas, ngebersihin jendela, bikin camilan, dst. Jadinya, jelas aja Mudr jumlah kerjaan jadi banyak. Sementara Iis jadi minimal, karena kerjaan kerjaan model gitu memang gak nyangkut di benak dia, kecuali kalo di-order dulu.

Nah... jadi binun khan. Di satu sisi aku memaklumi Iis. Di sisi lain, aku juga memaklumi Mudr. Trus gimana donk ?

Memang susah ya, bikin team yang hebat. Personilnya udah hebat, hubungan antar personil juga harus dibentuk untuk jadi hebat. Dan itulah tugasnya ketua team. Jadi inget kata Brad Sugars, kalo mo dapat team yang hebat, ya kitanya dulu juga harus hebat....

Wednesday, July 11, 2007

Full TDA, mau ?

Akhir akhir ini di milis TDA beredar banyak sekali provokasi untuk menjadi TDA -- full wirausaha. Keluar dari kerjaan yang sekarang, dan langsung terjun ke bisnis. Atau dengan kalimat yang berbeda, pensiun dari TDB, dan wisuda menjadi TDA. Sampai muncul provokasi untuk menetapkan target kapan menjadi TDA. Bahkan ada juga usul untuk 'menendang' dari milis untuk anggota yang sudah setahun, tapi tetap saja TDB atau amphibi.

Tadinya untuk aku sendiri, aku masih cukup memegang ajaran guruku, untuk sebisa mungkin tidak membuat target duniawi. Jadinya walopun sempat kebat kebit juga, aku masih bisa cuek dengan provokasi target menjadi TDA. Aku masih teramat setia sama prinsip choose, do, and see. Nah, untuk kondisi sekarang, kayaknya belum ada kondisi yang mengharuskan aku untuk memilih kerja atau full wirausaha. Jadi ya proses choose untuk case ini nggak dilakukan sekarang. Terus kapan ? Ya nantilah, kalau Allah sudah memberikan kondisi yang entah bagaimana, sehingga aku harus memilih. Kalau aku jawab besok, akhir tahun, atau tahun depan... lalu apa bedanya dengan target ? Ya gak...

Terus... provokasi di milis berjalan makin kencang....

Dan nggak tahu gimana, aku jadi khawatir. Aku bukannya nggak setuju, bahwa 9 dari 10 pintu rizqi ada di perdagangan. Dan aku juga sangat setuju, bahwa dengan bisnis, atau usaha, maka materi yang diperoleh sangat mungkin lebih banyak daripada saat bekerja dengan orang lain. Dan aku juga percaya penuh, bahwa rizqi itu Allah yang mengatur. Kalau memang rizqi kita, nggak akan kemana mana.

Tapi tetap saja aku khawatir. Mungkin karena aku sudah mencoba, dan sedikit banyak mengalami, perjalanan di dunia bisnis. Lebih khusus lagi, perjalanan di awal memulai bisnis. Meskipun kalau menurutku, bisnisku alhamdulillah, tidak menemukan masalah yang significant. Alhamdulillah aku beli kios di mall yang tepat, dengan lokasi kios yang tadinya nggak bagus (soalnya kepepet, saat aku beli, tinggal 2 kios yang belum terjual) namun sekarang lokasi tersebut sudah cukup ramai. Penjualan juga menunjukkan grafik yang meningkat dari bulan ke bulan. Dan 4 bulan lagi kios ini insya Allah sudah menjadi asset, bukan liabilities lagi.

Namun, dengan begitu banyak kemudahan yang diberikan Allah pada kami di awal menjalankan bisnis, tetap saja yang namanya bisnis butuh perhatian extra. Perhatian ini baik pikiran, waktu, tenaga, emosi... all out lah

Nah, aku sangat sangat bersyukur memulai bisnis dengan kondisi masih kerja juga di kantor. Kenapa ? Dengan begitu, aku tidak terlalu menuntut dengan kondisi bisnisku. Sebagai rentetannya, aku bisa menjalankan bisnisku dengan lebih santai, lebih open mind, gak ada keterpaksaan. Yang ada keinginan untuk membesarkan, dan bukan keharusan membesarkan. Beda lho ya...

Di awal bisnis, aku udah set, pokoknya yang sunnah gak boleh ngalahin yang wajib, hehehe. Maksudnya, kayak ngurusin anak, suami, rumah, itulah yang wajib. Kantor, menjadi wajib karena terikat perjanjian dan gaji yang diterima. Nha, bisnis itu sunnah. Jadi jangan sampai karena mbangun bisnis, terus anak anak jadi kurang diperhatikan, misalnya. Atau lebih parah, karena ada tekanan untuk nggedein bisnis, justru yang nerima efek pertamanya anak anak sama suami. Di rumah jadi uring uringan. Wah, jangan sampai lah ya... Naudzubillahi min dzalik. Kalau udah gitu, harus dibalikin tuch, sebenarnya mbangun bisnis untuk apa. Supaya punya banyak waktu buat anak anak, supaya bisa banyak infaq, untuk mengentaskan pengangguran, mengentaskan kemiskinan, supaya jadi miliarder, supaya bisa ikut club 11 digit, atau apa ? Kata hadist, semua amal dilihat dari niatnya. Niatnya apa, ya itu yang didapat.

Tapi juga bukan berarti aku jadi santai santai aja. Santai dalan artian nggak tertekan sich iya. Tapi kalo santai dalam arti malas malasan jelas enggak. Aku ngurusin bisnis tetap berusaha profesional, dengan ngambil jam istirahat. Jam tidur tepatnya. Jadi malem, pas anak anak sama suami udah tidur, aku bangun ngurusin ini dan itu. Begitu juga kalo sabtu minggu. Aku baru bisa hunting ke produsen -- yang kebetulan waktu itu tetangga -- kalo anak anak sama suami tidur siang. Biasanya kalo mereka udah ada yang bangun, langsung dech nelpon, nyuruh aku pulang. Emang sih, bisnis jadi lebih lambat jalannya, daripada yang bisa tiap hari hunting dan bisa yang jauh jauh. Tapi itulah pilihan yang tak ambil. Aku lebih memilih anak anak dan suami didahulukan, baru membangun bisnis. Nha, kalo pilihannya tidur atau mbangun bisnis, baru mendahulukan bisnis, hehehe. Nah, kalo saat itu aku sudah keluar dari TDB dan menjadi TDA, belum tentu bisa sesantai itu dalam mbangun bisnis. Ya khan...

Sampai sekarang, karena kedekatan yang sudah dibangun dengan produsen, jadinya aku boleh pinjem sehari. Jadi pulang dari toko teamku ngambil barang yang baru. Terus malem itu aku milih. Paginya teamku bikin nota, mbayar, plus mulangin yang gak jadi tak ambil. Jadi tetep gak ngurangin waktu buat anak anak, walopun toko sudah relatif lebih rame. Urusan ngecek pembukuan, ngecek pencatatan laba, ngecek kas, nota penjualan, dll semua juga dilakukan malem, kalo anak anak sudah tidur.

Sebenarnya banyak juga kesempatan untuk ngembangin bisnis yang terpaksa ditolak dan dicoret dari daftar. Hanya dengan satu alasan : kalo dilakukan, akan mengurangi waktuku dengan anak anak. Soalnya prioritas pertama tetap suami dan anak anak. Lha gimana, ntar kalo di akherat khan bakalan ditanya gimana ndidik anak anak. Kalo harta, paling pertanyaannya dari mana dan untuk apa. Tapi berapa banyak gak ditanya. Kalo ndidik anak, ditanya tuch, kuantiti dan kualiti nya.... Ntar kalo sampe pahalaku yang seumit ini dituntut sama anak anak karena aku gak didik mereka, wah... bisa tekor pahala...gak sanggup dech, dicuci dulu di pembakaran abadi.........

Alhamdulillah, sekarang keterlibatanku yang mengurangi jam tidur itu sudah sangat jauh berkurang. Toko sudah berjalan, pembukuan juga berjalan, stock juga lancar. Aku tinggal lihat lihat dan ngecek kalo pas sempet. Terus... kalo tokoku sudah nggak butuh banyak waktuku lagi, jadi buat apa aku maksa jadi TDA khan...

Cuman balik lagi, tetap aja aku gak nutup kemungkinan untuk jadi TDA. Ya itu tadi, sekarang belum disuruh milih aja sama Allah. Jadi ya pilihan belum dilakukan. Masih bisa jalan bareng kok. Hehehe....

Thursday, July 5, 2007

Delegate

Delegate, kata yang pagi ini muncul di email pak Fauzi Rachmanto di milis TDA. Pak Fauzi Rachmanto, sang guru, akan naik kelas lagi. Kali ini blio naik kelas dalam bab delegasi... (hehehe... maap ya pak...)

Jadi ingat, hal yang sama juga terjadi pada saya sejak awal bisnis, dan kayaknya akan berlanjut seterusnya. Kenapa seterusnya ? Ya, karena saya ingin bisnis saya berjalan seterusnya. Kalopun suatu saat nanti sudah menunjuk manager sebagai tangan kanan, toch tetap saja kita harus bisa mendelegasikan ke manager tsb. Jadi seni delegasi memang suatu yang wajib, dan ilmunya akan terus berkembang seiring dengan persoalan delegasi yang diberikan Allah ke kita. Dengan satu catatan, setiap ada ilmu delegasi yang diajarkan Allah, kita 'bersedia' menerimanya. Yaitu dengan mempelajari hikmahnya dan mengaplikasikannya.

Pada awal nyemplung di bisnis, semua saya yang handle. Dan ya... begitulah. Setiap hari tidurnya minimal jam 11 malem. Kadang milihin baju yang akan dipaket ke luar kota, packing, bikin nota, dst. Belum kalau sabtu ahad, saat suami dan anak anak sudah berhasil tidur siang, aku langsung hunting baju ke tempat produsen. Biasanya selesai hunting pas mereka juga sudah bangun. Walhasil... jam tidur sangat berkurang....

Belum urusan nyatetin labanya.... Hehehehe... khusus yang satu ini, alhamdulillah, di awal bisnis suami saya rajin banget nanya berapa labanya. Kalo aku gak bisa jawab khan gak enak, kok kayaknya gak prof banget gitu lho. Jadi ya udah, kalo gak ada yang musti disiapin untuk dikirim, saya malem sibuk berkutat dengan pencatatan ini.

Nah, karena pencatatan dipegang sendiri, jadi bisa explore. Pencatatan laba yang awalnya cuman satu sheet di Excell, jadi pindah pake software gratisan, dengan akun yang masih berantakan. Terakhir pas masih tak pegang, sebenarnya akun sudah bagus dengan software yang juga lumayan.

Cuman... ya itu. Tiap malem jadinya musti lembur ngurusin pencatatan. Aduh... repot banget yach. Berasa kewajiban. Padahal khan pengennya dengan bisnis ini jadi lebih santai...

Jadinya kepikir pengen didelegasikan. Cuman kalo masih dengan system yang saya pakai, otomatis delegasinya juga harus ke orang yang mumpuni donk, minimal udah biasa pegang mouse. Kalo cari yang kayak gitu, berarti musti nambah orang. Sementara, tambahan pekerjaan cuman dikit. Mubadzir khan. Gimana ya...

Alhamdulillah, janji Allah, siapa yang bersunguh sungguh, Allah akan menunjukkan jalannya. Dan janji Allah selalu benar.

Akhirnya ketemu juga jalannya. System pencatatan dengan komputer saya drop. Gimana enggak. Saya gak mau nambah orang. Sementara team yang memungkinkan untuk ditambah job desknya, lulusan kelas 3 SD. Wah, bisa jenggotan nanti kalo aku ngajarin dia tentang akun :-)

Jadinya, perhitungan laba yang biasanya komputerize, diganti dengan satu buku utama dan satu lagi buku bantuan. Plus satu print out daftar harga pokok. Alhamdulillah, dia dengan mudah bisa mengerjakan perhitungan laba ini. Walaupun seperti biasa, di awal pendelegasian butuh waktu dan effort yang lumayan. Tapi gak lama kok, mungkin cuman sepekan.

Kesininya, dia mo tak naikin job dan tanggung jawabnya. Jadinya urusan laba dipindahkan ke temennya. Nha, team kami ini, yang lulusan kelas 3 SD, ternyata bisa ngajarin partnernya yang lulusan kelas 2 SMA. Dengan kata lain, dia berhasil mendelegasikan lagi ke team ketiga tanpa campur tanganku. Hebat khan dia...

Dari situ aku kepikir, urusan SDM memang gak bisa diabaikan ya. Dan bukan gak mungkin, kita mengalami beberapa kali ganti SDM. Salah satu cara untuk mengantisipasinya -- supaya kalo SDM ganti kita nggak ngerasa ketiban kerjaan, ya permudah system. Make it simple.

Kalo tadinya system yang megang kita semua, standardnya jadi disesuaikan dengan owner perusahaan khan. Padahal team kita (tanpa merendahkan) levelnya adalah anggota team. So, kalau anggota team dipaksa menggunakan standard system owner, bisa bisa yang diajari pusing, yang ngajari juga puyeng. Udah capek, masih gak nyambung lagi. Menurut kita gimana sich, salah lagi salah lagi. Menurut team, gimana sich, aku udah usaha kok disalahin terus... :-(

Jadi penyederhanaan system itu juga perlu kayaknya ya. Supaya buat mereka itu clear, jelas. Misalnya di toko, aku bikin aturan, pokoke senin semua patung dewasa diganti baju. Selasa patung yang anak yang diganti bajunya, dst. Jadinya clear buat mereka. Senin ya gantiin yang ini. Selasa yang itu, dst. Model aturan : kalau baju merk A gak jalan, maka di patung pasangnya yang merk A. Nha... model if then gini biasanya yang susah didelegasikan. Karena pertimbangan owner dengan team bisa jadi berbeda... bahkan sangat mungkin juauh berbeda.

Selain sederhana, system juga kalau bisa dipotong potong, dibagi bagi. Sehingga setiap team bisa tahu lebih jelas mana yang tanggung jawabnya. Kalau di toko kami, ada yang urusannya ngitung laba, ada yang ngitungin cash, ada yang ngurusin stock, dst. Semuanya ditunjang dengan buku yang sudah kita buatkan desainnya sedemikian rupa untuk memudahkan mereka mengisi dan menggunakan. Dan mereka juga kita kasih tahu, tugasmu ini, gunanya untuk ini, kalau salah resikonya begini, kalau ditunda tunda resikonya begini, dst.

Beberapa bulan terakhir ada pergantian SDM yang cukup seru di toko kami. Alhamdulillah, dengan system yang simple dan jelas, pemindahan pekerjaan ke SDM yang baru jadi tidak terlalu merepotkan dibanding sebelumnya.

So, jangan khawatir untuk men-drop system bagus temuan kita, dan menggantinya dengan yang lebih sesuai dengan kapabilitas team. Semoga bermanfaat.

Monday, July 2, 2007

Fokus

Pada awal buka toko hampir 2 tahun yang lalu, kami tergiur untuk menjual 'apa saja' yang bisa meningkatkan laba. Akibatnya, kami berusaha melengkapi toko dengan semua kebutuhan yang behubungan dengan busana dan Islam. Hasilnya, toko memang lengkap. Ada sarung dewasa. Ada sarung anak. Ada koko dewasa dan anak. Ada mukena dewasa dan anak. Ada bros dan temen temennya. Ada kain ihrom. Ada baju ihrom. Ada kaos kaki. Ada sabuk haji. Pendek kata, apa yang dicari dan ditanyakan oleh yang datang, kami usahakan segera ada di toko kami. Alhamdulillah, hampir semuanya memang menyumbang laba.

Sejak awal membuka toko, kami terbiasa menghitung laba, dan bukan omset. Semua data tentang produk yang terjual di toko (pada mulanya) tersimpan dengan baik. Seiring dengan makin 'dewasa' nya toko kami, data produk mulai bermasalah.

Muncullah produk produk yang kurang dapat didefinisikan. Misalnya... dalam data ada bros jenis 1, 2, dan 3 dengan harga a, b, c. Setelah hampir 2 tahun, kita jadi tidak dapat membedakan lagi mana bros jenis 1 dengan harga a, mana yang jenis 2, dst. Kami coba untuk mensolusikannya dengan menempelkan label harga. Solve untuk urusan penjualannya. Namun untuk pencatatan laba, tetep aja nggak jelas sebenarnya berapa laba yang muncul dari produk tsb. Belum kalau label harga tersebut juga ngelupas dari produknya. Buat mencocokkan lagi mana produk yang berharga a, aduh... susyahnya... :-(

Problem kedua, muncul saat kami ganti SDM. Selang beberapa bulan setelah jaga toko, saya tanya tentang kain ihrom. Ini dijualnya berapa ya ? Eee... dia bilang gak tahu. Katanya : emang ini apa. Ternyata dikirain sama dia, kain ihrom itu handuk. Oalah... emang sich mirip, hehehe :-)
Jadi kepikir... betapa susahnya mengedukasi SDM ya... Itu baru yang jelas keliatan, kain ihrom. Nha, gimana caranya ngeducate dia untuk harga bros yang jenis 1, 2, dan 3 tadi ? Terus gimana pula ngebedainnya di nota ? Ribet kayaknya...

Problem ketiga, muncul karena toko kami yang mungil. Dengan ukuran 2,5 x 2, toko kami sangat sempit untuk memuat semuanya. Padahal toko kami sudah dipenuhi dengan rak di 2 sisi. Jadinya core produk, baju muslim anak, stock tersedia di toko tidak bisa maksimal. Akibatnya pilihan pembeli jadi terbatas. Akibatnya lagi, kemungkinan convertion rate jadi turun. Rugi khan...

Akhirnya, setelah lebaran tahun kemaren, kami bongkar toko. Tahap pertama, penambahan rak, sehingga sekarang rak memenuhi 3 sisi di toko kami. Terus ngecilin meja, supaya toko terlihat lebih lapang. Ketiga, narik produk yang 'aneh aneh'. Keempat, dengan beberapa pertimbangan, kami menambahkan item baju muslimah dewasa, namun terbatas pada merk tertentu.

Jadilah sudah beberapa bulan, toko kami 'hanya' fokus pada busana muslim anak laki dan perempuan, baju renang muslimah anak dan dewasa, dan busana muslimah dewasa. Thok ! Tanpa tambahan. Itupun merk terbatas. Hanya merk yang terjamin supply dan standard harga yang jelas yang kami jual.

Hasilnya ? Alhamdulillah. Pelanggan loyal bertambah. Banyak pembeli yang melakukan transaksi ulang. Bahkan ada yang begitu datang, anaknya bilang ke teamku : Mbak... aku balik lagi... Hehehhe... anaknya aja hapal dengan tokoku...

Tokoku juga jadi lebih jelas nempelnya di mindset pembeli. Kalo ada yang butuh baju muslim untuk anaknya -- dengan harga pantas untuk barang berkualitas, mereka bisa langsung terpikir... Anugerah Collection ! Coba kalo jualanku macem macem... Susah bikin branding...

Dan yang sangat bikin aku seneng, sekarang sangat mudah bagi kami untuk menghitung laba. Aku tinggal bikin 2 lembar daftar harga pokok. Kemudian teamku -- yang lulusan kelas 3 SD, sudah bisa menghitung laba. Dan dengan begini, apabila ada perubahan SDM, aku tidak terlalu susah untuk ngajarin segala sesuatunya.

Alhamdulillah... selesai sudah satu urusan.....