Monday, August 25, 2008

Orang tua

Orang tua, bagaimana idealnya kehidupan mereka dan bagaimana agar bisa mencapainya?

Terpikir, kehidupan orang tua -- orang yang sudah tua -- yang sudah berhasil mendidik anak-anak mereka hingga sudah bekerja dan menikah. Semuanya.

Saat masih ada yang belum menikah, masih ada 'sedikit' beban di orang tua untuk ingin melihat anaknya menikah dan menimang cucunya. Saat yang terakhir menikah, dan muncul keinginan benar-benar membina rumah tangganya, mulailah muncul problem.

Kenapa ? Karena IMHO, keluarga ideal dibentuk dari pengalaman sejak mulai berumah tangga. Pengalaman pernah mengambil keputusan yang salah sebagai kepala keluarga. Pengalaman belajar menjadi ibu dan pasangan yang baik untuk suaminya. Pengalaman untuk mengambil keputusan dan berdiskusi, pemecahan masalah, dan mulai membentuk pola diskusi dan pembinaan keluarganya. Dan proses ini, paling bagus bila memang dibentuk 'hanya' oleh kedua orang tsb. Orang tua, sodara2, dan yang lain boleh memberi saran, tapi sebatas saran. Tanpa paksaan untuk menjalankan.

Dan... proses itu akan 'terganggu' bila sejak mulai menikah, mendiami satu rumah dengan orang tua. Cause bagaimanapun, orang tua adalah orang yang telah mapan dalam proses tersebut. Sedangkan kedua pasangan, baru akan belajar. Apabila ada yang mapan, maka proses belajar lebih banyak dituntun, bukan learning by doing lagi. Sementara, karena kedua pasangan muncul dari kebiasaan dan kondisi yang berbeda dengan orang tua, bisa jadi 'kondisi mapan' nya orang tua, gak cocok dengan 'kondisi mapan' yang seharusnya mereka bentuk. Dan muncullah gesekan2.

Di lain pihak, kalau semua anaknya menikah dan membentuk keluarganya di rumahnya sendiri, lalu orang tua dengan siapa ? Masih mendingan kalau orang tua masih hidup keduanya, dan masih sehat keduanya. Sehingga mereka bisa saling mengisi dan berbagi.

Sangat sedih bila ternyata salah satu sudah meninggal, atau salah satu mengalami sakit yang cukup berat, dan hanya hidup berdua. Apalagi menjelang Ramadhan begini. Siapa yang menyiapkan sahurnya ? Bagaimana kalo mereka terlewat sahur ? Bagaimana kalau mereka tidak ada 'kekuatan' untuk menyiapkan sahur ? Bagaimana pula berbukanya ? Siapa yang akan menyiapkan teh hangat dan mempersilahkan mereka makan ? Bagaimana bila mereka sakit, bahkan bila 'sekedar' masuk angin ? Siapa yang akan mengajak mereka mengobrol ? Bahkan bila mereka hanya ingin bercerita tentang cuaca yang cerah ? Hiks... jadi sedih....

Hiks... kalau aku sudah tua nanti, dan anak2 ku -- yang Alhamdulillah sampai saat ini perempuan semua -- mereka menikah dan pindah ke rumah lain bersama suaminya, bagaimana kehidupanku nanti ? Bagaimana aku akan mengisi hariku yang biasa dipenuhi celoteh 4 anak ? Hiks... semoga di hari tuaku nanti, aku masih cukup berguna untuk anak2ku, untuk masyarakat, dan untuk agama. Semoga aku dapat mengisi hari2 ku sesuai dengan tuntunan-Nya, tanpa memberatkan siapapun. Hiks... bisa diusahakan dari sekarang gak ya ? Gimana caranya ya ?

Kata suami, kita akan sibuk dengan usaha dan dakwah. Yach... kupikir, realistis aja... usaha dan dakwah, akan tetap jalan saat kita masih kuat. Bila Allah mentakdirkan umur panjang, dengan kekuatan yang semakin berkurang... Wallohu alam...

Hiks... sedih... Inget orang tua kami. Teriring salam sayang dan hormat untuk ketiga orang tua. Semoga Allah berkenan mempermudah kehidupan mereka, dan mempermudah pula jalan mereka menuju Surga. Dan semoga mereka memaafkan dan mengampuni anaknya ini, yang kurang pandai berbakti. Amien.

Persepsi, lagi...

Perpsesi. Bagaimana cara kita memandang orang lain. Dan juga bagaimana cara orang lain memandang yang lainnya. Dan gak tahu kenapa, kok akhir akhir ini banyak kesandung bab ini.

Ada satu kenalan, yang sering banget ikut kerja bareng. Pernah kerja bareng sama kita. Juga pernah kerja bareng sama orang orang yang kita kenal. Trus, kenalan ini, kalo cerita, frase yang sering dipake adalah : “saya sudah…, saya yang….”. Sementara kita tahu persis kalo itu adalah hasil kerja bareng. Bahkan bisa jadi, hasil kerja orang lain.

Tadinya kirain kayak gitu ke kita aja. Ternyata disuatu acara ngobrol dengan banyak orang, kata kunci “saya” itu keluar. Dan kita jadi cukup terhenyak. Dan terheran heran. Cause topiknya itu tentang proyek rame rame di komplek. Jadi heran, kok bisa bisanya dibilang bahwa itu hasil karya sendiri. Dengan penuh PeDe lagi.

Kenalan itu membuat orang orang berpersepsi bahwa dia telah begitu berjasa. Telah begitu hebat. Hihihi… kesannya aku syirik ya. Semoga enggak lah. Lha wong kalo di depannya, mati matian kita nahan supaya jangan sampai nyela omongannya. Supaya jangan sampai ngomong, lho… itu khan hasil kerjanya si B, C, D, dst. Bukan juga untuk cari muka. Hanya semata supaya kenalan tersebut gak ‘keweleh’ (aduh… apa ya, bahasa Indonesianya yang cocok ?)

Trus ada kenalan lain. Kali ini kenalnya dari milis, dari dunia maya. Setiap postingannya, meng-isyaratkan bahwa blio adalah seorang produsen. Seorang pemilik usaha produksi baju. Kebetulan merk baju tsb sudah cukup lama termasuk item yang tak jual. Cuman memang karena beberapa keterbatasan, kita memilih untuk mengambilnya cukup dari distributor. Mengetahui produsennya ternyata rekan satu milis, kebayang khan, senengnya. Yach… kupikir paling gak aku bakalan tahu lah, kalo mo naik tingkat jadi distributor harus mencapai penjualan berapa. Diskon yang didapat berapa. Dan yang paling menyenangkan, bisa usul untuk model baju, warna, dst.

Trus, suatu saat, salah satu barang tersebut ternyata reject. Padahal sudah terlanjur terjual ke customer. Untungnya customer tsb complain ke kita. Urusan ke customer udah beres sih, barang langsung kita ganti. Cuman aku khawatir kalo ternyata ada lagi yang begitu, dan customer malah gak complain. Khawatirnya nama tokoku yang jatuh.

So, aku menghubungi kenalan tadi, menginfokan dan berharap supaya barang yang keluar di-QA dulu. Sehingga kekecewaan pelanggan dapat diminimalisir. Aku juga cerita kalo selama ini menjual merk tsb dengan mengambil dari distibutor X. Blio menerima komplain dan mengatakan, akan menyampaikannya ke A. Lhah… aku heran… A ini siapa….

Cause aku dapat barangnya dari distributor, jadi ya aku complain juga donk, ke distributorku. Ngobrol ngobrol. Sampailah pada topik nama produsen. Lho… kok distributorku nyebut A. Trus, kenalanku itu siapa ? Ternyata distributorku kenal blio juga. Kalo menurut distributorku, kenalanku tsb adalah sepupu dari produsennya. Dan kebetulan blio yang pertama memasukkan merk tsb ke internet. You see ??

Kenalan milis tersebut membuat hampir semua anggota milis menganggap bahwa dia adalah produsennya. Malah ada yang menganggap bahwa produsen yang sebenarnya, hanyalah mitra makloon dari kenalan tsb. Waduh…

Trus ada kenalan lain lagi, yang cerita tentang penjualan salah satu merk yang diusungnya, yang sangat… sangat apa ya… aduh, aku susah niruinnya. Pokoke kalo orang baca, bisa langsung berpersepsi bahwa produk tersebut laku keras lah. Kebetulan aku juga lagi cari substitusi untuk produk jenis yang sama. Jadi tak cobalah. Pas hampir sebulan setelah aku ngambil, dia nanya, gimana penjualannya. Kubilang, belum ada, karena item tersebut tak tarik dari toko ITC. Ujug ujug dia cerita juga, kalo barang tsb di tokonya juga susyah keluar. Walah….

Insya Allah nulis ini bukan karena syirik sama ybs. Kita cuman heran aja. Ada ya orang yang seperti itu. Sebenarnya begitu itu kenapa ya. Apa jauh di dalam hatinya, memang dia berpikir seperti itu. Atau sebenarnya dia mengakui yang sebenernya tapi pengen diakui berbeda. Atau hanya karena salah nyebut aja. Atau kebiasaan. Atau ??

Trus… sebenernya boleh gak ya, dari sisi agama ? Soale kalo dibilang bohong… gak juga. Lha wong kalimat yang dipilih itu sedemikian rupa, sehingga bener juga. Jadi gak bohong. Tapi ya itu, persepsi yang terbentuk dari kalimatnya, bisa lain. Nah, kalo persepsi lain itu muncul dari satu dua orang, bisa jadi memang pendengarnya yang beda persepsi. Tapi kalo semua pendengarnya mempersepsikan hal yang berbeda, means subyeknya khan…

Dan karena kita masih binun sama boleh enggaknya dari sisi agama ini, jadinya kita juga jadi ragu untuk mengingatkan. Lha gimana, kalo ternyata boleh, mosok diingatkan. Agama aja membolehkan kok kita ngelarang. Jadinya ya itu, kalo denger, kita cuman nahan nahan aja supaya gak terlontar ucapan yang bisa bikin ybs ‘keweleh’. Hhh… jadi gemes. Apa sih, bahasa Indonesianya keweleh ??

Tuesday, August 12, 2008

Seseorang

Aku punya seseorang yang sangat ingin aku berikan apa yang disenangi. Sangat ingin aku berikan apa yang diharapkannya. Bahkan jika pun aku tak mampu, ingin sekali untuk tetap memenuhi keinginannya, walaupun sampai harus di-mampu-mampu-kan. You know what I mean khan...

Cuman... sedih sekali... ternyata sangat susah untuk mengetahui keinginannya. Saat aku sering pergi, katanya ingin ikut, karena gak mau tak tinggal pergi -- yang menurutnya pergi itu identik dengan jalan-jalan. Pas diajak, aduh... salah juga. Katanya capek. Disuruh kesana sini.

Aku ngantor, disalahin, karena gak ada waktu buatnya. Tapi kubilang mo resign, e... salah juga....

Hiks...

Syaban... syaban.... Bulan ujian. Bulan pembersihan. Sebelum masuk ke bulan yang penuh Rahmat, Ramadhan. Yach... semoga aku lulus di syaban ini, sehingga memasuki Ramadhan sudah bersih. Dan bukan mengisi Ramadhan dengan pembersihan lagi. Tetapi mengisi Ramadhan dengan pembekalan untuk setahun berikutnya. Dan menabung untuk kehidupan selanjutnya.

Allahumma bariklana fii syaban, wa balighna Ramadhan...
Ya Allah, berkahilah kami di bulan syaban, dan sampaikanlah kami di bulan Ramadhan.

Ya Allah, mudahkanlah kami untuk mengumpulkan amal dan menjemput rahmat-Mu. Mudahkanlah kami untuk meng-ikhlas-kan seluruh amal yang kami lakukan. Bantu kami untuk tetap istiqomah. Bantu kami untuk mengetahui mana amal yang lebih baik dari sekian banyak amal yang baik yang perlu kami lakukan. Dan bantu kami untuk melakukannya.

Rabbana hablana min ladunka rahmah, wa hayyi'lana min amrina rasyada
Ya Rabb kami, berkahilah kami dengan rahmat dari sisi-Mu, dan sempurnakanlah petunjuk yang Engkau berikan kepada kami.

Amien.

Thursday, August 7, 2008

Keterbatasan Penyerapan Modal

Barusan jalan jalan ke http://www.perencanakeuangan.com/files/index.html, alhamdulillah ada pencerahan. Sebenernya bukan pencerahan juga sich, tapi pembenaran atas apa yang selama ini aku lakukan. Jadi sekarang ngelakukannya lebih mantap lagi, cause sudah sama dengan apa yang dikatakan sama pak Ahmad Ghazali, di artikel yang dikutip dari Republika tgl 19 Oktober 2003, tentang bagi hasil.

Di antara sekian banyak investasi dengan sistem bagi hasil yang perlu diwaspadai, item terakhir adalah : Keterbatasan penyerapan modal, dengan keterangan detil sbb. :
"Kemampuan dan skala usaha yang dimiliki pengusaha pastilah terbatas. Oleh karena itu pengusaha yang menawarkan investasi harus juga dapat menghitung berapa batasan modal yang dapat diserapnya. Tanah yang dia miliki untuk menanam kan terbatas. Maka modal yang diperlukan juga menjadi terbatas. Tapi, kalau pengusaha terus-menerus menerima modal tanpa adanya batasan, itu berarti uang investor tidak dijadikan modal kerja, tapi digunakan untuk hal lain yang tidak sesuai dengan perjanjian."

Nah, selama ini, aku selalu membatasi modal yang tak gunakan untuk usaha. Misalnya saja untuk awal usaha dulu, yang tak pake modal 'cuman' 2 juta. Dan ya memang cuman segitu itu yang terus diputar. Sampai bener bener udah berputar lancar. Kalo berasa kurang, kita evaluasi dulu modal yang sudah berputar itu. Memang kurang, atau jangan-jangan perputarannya yang kurang lancar. Kalo dari evaluasi memang butuh modal lagi, baru masukin proposal ke suami. Setuju gak. Discuss lagi. Di evaluasi lagi. Dan biasanya, selalu ditanya terus sama suami, gimana return nya dari tambahan modal yang sudah digelontorkan. Gitu terus, sampai akhirnya modal yang kita putar cukup gede seperti sekarang.

Sebelumnya, aku cuman berasa gak nyaman dan belum bisa aja, untuk muter modal yang lebih gede. Makanya modal kita batasin. Selain juga mungkin taraf resiko yang bisa kita tanggung juga baru segitu. Jadi kita gak terlalu tertekan. Karena modal yang diputar juga nambahnya sedikit sedikit. Sambil evaluasi terus.

Ini juga keliatan pas kita buka toko di ITC Depok. Modal yang dikeluarkan ya memang cuma DP kios dan cicilannya. Untuk rak, kita ngangkut rak buku anak2, yang kebetulan dulu memang kita bikin warna warni. Sedangkan baju yg dijual, sebelumnya khan memang kita udah jualan baju. Jadi gak nambah banyak modal untuk bajunya. Tambahannya paling modal untuk beli patung. Yang saat itu juga... waduh... mahal juga ya.... :-)

Terus ternyata toko lumayan. Jadi kita evaluasi lagi. Untungnya nutup gak untuk nambah lampu. Juga untuk nutup biaya listrik bulanannya. Alhamdulillah cukup. Dan ternyata nambah lampu gak butuh banyak dana ya. Tambahan biaya untuk listrik bulanannya juga gak banyak. Padahal -- alhamdulillah -- penjualan setelah itu meningkatnya banyak, hehehe....

Terus beberapa bulan kemaren, kita evaluasi lagi. Pas waktunya dengan mo bukanya toko yang di rumah. Jadi pasti butuh rak. Akhirnya rak bekas rak buku anak2, kita pulangkan lagi dan ditaruh di toko GTA. Sedangkan Anugrah ITC Depok kita pesenin rak aluminium -- yang ternyata harganya aduhai... juauh lebih mahal dari lampu. Dan aku sama suami mengalami stress kedua, setelah stress karena beli kios. Apakah biaya beli rak itu ketutup sama kenaikan laba ? Yach... intinya... sepadan gak ya... Alhamdulillah, masa itu udah dilewati dengan tersenyum... Tahu khan maksudnya... :-)

Pas modal masih cuman 2 juta, kita sempet ngobrol sama salah satu pengelola sekolah enterpreneur. Dia bilang, ngapain modal ditahan tahan. Kalo memang punya dana banyak, ya gelontorin aja. Dan aku gak setuju. Tapi aku susah nemuin kenapa gak setuju. Pokoke feeling ku bilang enggak, aja. Aku cuman tahu kalo usahaku belum butuh tambahan modal. Tapi kenapa kok begitu, kenapa kok belum butuh tambahan modal, aku gak bisa jawab.

Nah... artikel Ahmad Ghazali itu yang membuat aku ngeh. Menurut blio itu, setiap usaha, setiap kemampuan usaha dan skala usaha pasti terbatas. Jadi pengusaha harus dapat menghitung -- dengan kata lain harus tahu -- berapa batasan modal yang dapat diserap. Jadi, modal memang harus dibatasi khan. Dengan tahu batasan modal yang dapat diserap, berarti kita jangan main menggelontorkan dana yang kita miliki, ataupun dana pinjaman, untuk membesarkan usaha. Karena kalau sampai dana yang digelontorkan lebih besar dari batasan modal yang dapat diserap, maka yang terjadi bisa saja buntung, bukannya untung.

Tapi juga bukan berarti menambah modal itu haram. Enggak lah. Jadi di-evaluasi aja. Kalo memang sudah saatnya menambah modal, it's ok nambah modal. Tapi juga tetep dikira2, nambah modalnya kudu berapa. Trus stop lagi. Evaluasi lagi. Kalo berjalan bagus lagi, dan mentok lagi -- yang baru bisa berkembang lagi kalo ditambahin modal, ya modal ngucur lagi.

Gitu...

How Empati Am I


Hiks... syedich.. hari ini aku belajar satu hal lagi... Dan cukup mengagetkan aku. Dan menyedihkan. Nyesek di hati. Hiks.... Hiks....

Ada yang bilang aku gak empati. Dan itu berhubungan dengan materi. Dalam versiku, itu sama dengan bilang kalo aku menimbun materi. Menimbun uang. Mengumpul ngumpulin harta tanpa menimbang sikon orang lain. Hiks... hiks...

Padahal, apa sich hartaku... Bukannya gak bersyukur. Aku bersyukur. Dan sangat bersyukur dengan apa yang aku dapat. Tapi ngumpulin harta tanpa lihat lihat sikon orang lain ?? Hiks... kayaknya nggak dech.... Sepertinya selama ini aku selalu mengusahakan tuntunan iman nomor satu. Dan selalu megang kalo apa yang diajarkan agama gak bisa diganggu gugat. Itu yang tak yakini selama ini. Itu pedomanku. Minimal menurutku. Tapi kok...

Awal mulanya cause aku bilang pengen beli kios lagi. Padahal itu juga baru pengen. Dan itu juga karena aku pengen bisa beramal lebih. Bisa beramal lebih banyak. Baik berupa uang, ataupun kemampuan. Cause kemampuanku untuk ceramah tentang agama sangat jauh dari standard. Dan inilah yang aku mampu lakukan. Minimal ada orang yang jadi punya penghasilan tetap bulanan, meskipun belum sesuai UMR. Minimal jadi ada beberapa orang yang tidak jauh jauh banget dari garis batas kemiskinan. Minimal ada orang yang aku ajari sehingga kemampuan dan kepandaiannya bisa meningkat. Minimal bila ada orang yang akan buka toko, aku bisa kasih masukan... Minimal...

Yach... itu doank yang bisa aku lakukan. Dan karena aku dikasih kemampuan disitu, dan bukan kemampuan jadi ustadzah, jadinya aku mencoba untuk memaksimalkan amalku disitu.

Selain juga larena keinginan untuk amal materi yang berharap jadi agak naik sedikit. Yach, kalo toko bertambah, insya Allah pendapatan bertambah. Kalo pendapatan bertambah, berharapnya amal ikut bertambah khan. Minimal zakat bertambah lah...

Hiks...

Insya Allah semua usaha untuk peningkatan usahaku bukan untuk menumpuk harta. Karena toch, dengan usaha yang makin meningkat, dan gaji dari kantor yang juga alhamdulillah makin naik, kami mempertahankan gaya hidup yang tetap seperti sebelumnya. Insya Allah semua bukan untuk bermewah mewah.

Apalagi... aku juga sangat ingin untuk ambil pendi. Kalau bisa suatu saat nanti, pendi bareng suami. So... musti disiapkan khan. Supaya pas saatnya ngambil pendi, kita sudah saatnya bersantai. Benar benar free. Bukan malah tertekan dengan target meningkatkan usaha supaya dapat menutup biaya hidup dan biaya yang akan muncul di masa depan.

Pertanyaan yang masih muter di kepalaku... kalo persiapan kayak gitu... apakah berarti aku ngumpulin materi tanpa peduli sama yang lain ?? Hiks... hiks....

Wednesday, August 6, 2008

Flexi Gratis tis

Walah...

Baru kali ini, nelpon gratis tis. Semua percakapan dari Flexi ke Flexi, di Jabodetabek, Banten, plus Jabar, gratis tis. 24 jam. Tanpa syarat. Selama tahun 2008.

Kalo Flexi ke operator lain, gratis setelah menit kedua.

Di luar area itu, bisa pake Mesra, gratis antar 2 nomer. Syaratnya : type Flexi sama (Flexi Trendy dengan Flexi Trendy, atau Flexi Classy dengan Flexi Classy). Plus bayar 5.000 per nomor untuk registrasi. Dan per nomor hanya bisa dimesrakan 1x.

Walah... kalap... hehehe... Secara, biasanya ngirit ngirit kalo urusan nelpon. Jadinya daku tadi nginfo-in langsung ke para sodara. Sebagian memang sudah pake Flexi. Sebagian lagi GSM. Nah, daripada pake sms, kadang berapa kali sms persepsi masih belum sama, mending nelpon pake Flexi. Lha wong gratis. Kalopun ujug ujug gak dapet sinyal, kayaknya masih gak rugi dech. Khan gratis, hehehe...

Untuk toko juga langsung ngelobby suami. Juga untuk anak2. Sampai suami heran. Dan gak approve, hiks... Tapi akhirnya deal juga, beli satu lagi aja, buat nambahin 2 Flexi yang dipegang aku sama suami. Niatnya untuk anak2 atau toko. Jadi gantian gitu. Kalo pas anak2 butuh, ya udah, toko gak bawa Flexi dulu. Tapi default nya untuk toko.

Trus semua sodaraku khan juga di Jakarta. Di depok tepatnya. Hihihi... lebih tepatnya lagi, kami bertiga dari empat sodara, tetanggaan, satu komplek. Jadi mulai dech, mereka juga tak komporin supaya pake Flexi aja. Gratis lho... :-)

Kebetulan lagi ada promo handset juga, 300 ribuan. Tadi udah pesen sekian handset beserta nomor untuk sodara2 dan toko. Semoga segera dateng ya...

So, nelpon ? Siapa takuuut...... :-D

Itu kalo diliat dari sisi pribadi. Dari bisnis, kepikir juga... darimana pendapatannya ya ?? Jadi inget pesawat. Setelah sekian lama mereka perang harga, sampai tiket pesawat terjun drastis jadi lebih murah dari kereta, akhirnya salah satu maskapi kollaps. Dan semua balik normal lagi. Tiket pesawat juga jadi normal lagi. Maybe gitu ya...

Jadi kalo pas ada perang harga di bisnis kita, jalan yang terbaik adalah... pokoke bisa bertahan. Yach... memang... di saat sulit, di saat krismon, di saat bensin dan harga harga melambung seperti saat ini, satu satunya yang disarankan adalah : minimal bisa bertahan. Bertahan thok, titik. Itu saja sudah cukup. Nah... setelah masa sulit itu terlewati, hanya yang bertahan lah yang tetap bermain. Dan itulah saatnya mulai menuai....

Betul kah ? Duh... gak ada teori yang mendukung nich.... Hihihi... maklum, belum menjadi pembaca buku buku bisnis yang setia. Masih asli dari ngeliat dan ngobrol kiri kanan. Jadi ya percaya monggo, gak percaya... tanggung sendiri lho ya... :-)