Thursday, August 31, 2023

Adil pada Anak

 Saya pernah dipangil psikolog sekolah, saat itu anak saya kelas 6 SD. Karena memang sebelumnya saya tahu ada program Pendidikan seksualitas di sekolah, jadi saya pikir semua dapat panggilan seperti saya. Tapi sudah mulai agak heran ketika saya ditelpon terus dan dipastikan kehadirannya.

Okelah, saat terima rapor, saya mampir ke psikolog memenuhi undangan. Dan tiba2 psikolog  bilang : Anak ibu terpapar pornografi.

Tersambar petir di siang bolong. Tapi saya masih waras. Okelah, kudu sabar dan tenang. Bisa jadi psikolog ini benar, tapi bisa jadi tidak. Adem dulu. Sambil berpikir apa yang musti saya lakukan.

Saya tanya psikolognya, tahunya dari mana.

Kata psikolog, sebelumnya ada wawancara dengan semua anak. Dan anak saya termasuk yang terindikasikan terpapar pornografi.

Hmm, ok. Saya tanya lagi, Bagaimana teknis wawancaranya ?

Psikolog : sebenarnya bukan saya sendiri yang melakukan wawancara, tetapi ada volunteer yang membantu. Anak2 berkumpul beberapa orang, diajak diskusi, dan diberi beberapa pertanyaan. Jawaban dan ekspresi mereka yang menjadi acuan apakah mereka terpapar atau tidak.

Ok, masih bisa diterima, tapi sudah satu catatan, psikolog tidak berinteraksi dan mengevaluasi langsung anak saya.

Saya kejar lagi, jawaban dan ekspresi seperti apa yang menjadi indikasinya ?

Psikolog : biasanya mereka terlihat malu atau menyembunyikan sesuatu.

Saya tanya lagi : Ada catatannya nggak ya, aapa jawaban anak saya dan bagaimana ekspresinya sehingga dia diindikasikan terpapar pornografi ?

Psikolog tampak membuka2 catatannya, dan menjawab : volunteer waktu itu bertanya ke anak2 : adakah yang pernah melihat gambar2 porno di hp atau gadget lain. Dan anak ibu menjawab pernah.

Hmm, masih make sense buatku, Bukankah kalua kita googling atau main games memang suka ada aja iklan2 aneh muncul. Dan mungkin ukuran porno ini relative. Sesuatu yang wajar di mata orang lain, bisa jadi sudah dianggap porno oleh anak saya Kenapa saya yakin, feeling orang tua yang dekat sama anaknya 😊

Jadi saya kejar lagi, Bagaimana ekspresi anak saya setelah menjawan itu ? Apakah dia tampak malu atau menyembunyikan sesuatu ?

Psikolog membuka catatan lagi, tidak sih bu, anak ibu hanya menjawab seperti itu. Ekspresinya tampak wajar.

Ooohh… Syukur alhamdulillah kalau begitu.

Saya sampaikan ke psikolognya, kalua kondisinya begitu bu, bisa jadi bukan anak saya terpapar pornografi, tetapi justru dia terlalu polos sehingga dia menyampaikan apa adanya, yang mungkin untuk anak seusia dia tergolong wajar, sementara untuk anak saya, gbr2 seperti itu sudah masuk ranah pornografi.

Keluar dari ruang psikolog, saya berpikir keras, bagaimana cara diskusi dengan anak saya, supaya dia tidak merasa dituduh, tapi dia mau menyampaikan apa adanya.

Akhirnya saya cerita, tadi umi dipanggil psikolog, Katanya adek terpapar pornografi karena pas ditanya pernah lihat gambar porno nggak, adek jawab pernah.

Tak amati ekspresi dia, ternyata ekspresinya kesel abis, trus dia ngomel, kan ditanya pernah lihat gambar porno nggak, ya jawab iya lah, kan pernah lihat, Masak bohong. Kan drama2, games, juga suka muncul. Tapi kan gak dilihat sama kita, tapi kelihatan.

Dari sana aku langsung lega, anakku alhamdulillah masih aman, Dan sekarang, 6 tahun setelah itu, kejadian ini masih menjadi bahan lelucon di keluarga kami.

No comments: