Monday, August 25, 2008

Persepsi, lagi...

Perpsesi. Bagaimana cara kita memandang orang lain. Dan juga bagaimana cara orang lain memandang yang lainnya. Dan gak tahu kenapa, kok akhir akhir ini banyak kesandung bab ini.

Ada satu kenalan, yang sering banget ikut kerja bareng. Pernah kerja bareng sama kita. Juga pernah kerja bareng sama orang orang yang kita kenal. Trus, kenalan ini, kalo cerita, frase yang sering dipake adalah : “saya sudah…, saya yang….”. Sementara kita tahu persis kalo itu adalah hasil kerja bareng. Bahkan bisa jadi, hasil kerja orang lain.

Tadinya kirain kayak gitu ke kita aja. Ternyata disuatu acara ngobrol dengan banyak orang, kata kunci “saya” itu keluar. Dan kita jadi cukup terhenyak. Dan terheran heran. Cause topiknya itu tentang proyek rame rame di komplek. Jadi heran, kok bisa bisanya dibilang bahwa itu hasil karya sendiri. Dengan penuh PeDe lagi.

Kenalan itu membuat orang orang berpersepsi bahwa dia telah begitu berjasa. Telah begitu hebat. Hihihi… kesannya aku syirik ya. Semoga enggak lah. Lha wong kalo di depannya, mati matian kita nahan supaya jangan sampai nyela omongannya. Supaya jangan sampai ngomong, lho… itu khan hasil kerjanya si B, C, D, dst. Bukan juga untuk cari muka. Hanya semata supaya kenalan tersebut gak ‘keweleh’ (aduh… apa ya, bahasa Indonesianya yang cocok ?)

Trus ada kenalan lain. Kali ini kenalnya dari milis, dari dunia maya. Setiap postingannya, meng-isyaratkan bahwa blio adalah seorang produsen. Seorang pemilik usaha produksi baju. Kebetulan merk baju tsb sudah cukup lama termasuk item yang tak jual. Cuman memang karena beberapa keterbatasan, kita memilih untuk mengambilnya cukup dari distributor. Mengetahui produsennya ternyata rekan satu milis, kebayang khan, senengnya. Yach… kupikir paling gak aku bakalan tahu lah, kalo mo naik tingkat jadi distributor harus mencapai penjualan berapa. Diskon yang didapat berapa. Dan yang paling menyenangkan, bisa usul untuk model baju, warna, dst.

Trus, suatu saat, salah satu barang tersebut ternyata reject. Padahal sudah terlanjur terjual ke customer. Untungnya customer tsb complain ke kita. Urusan ke customer udah beres sih, barang langsung kita ganti. Cuman aku khawatir kalo ternyata ada lagi yang begitu, dan customer malah gak complain. Khawatirnya nama tokoku yang jatuh.

So, aku menghubungi kenalan tadi, menginfokan dan berharap supaya barang yang keluar di-QA dulu. Sehingga kekecewaan pelanggan dapat diminimalisir. Aku juga cerita kalo selama ini menjual merk tsb dengan mengambil dari distibutor X. Blio menerima komplain dan mengatakan, akan menyampaikannya ke A. Lhah… aku heran… A ini siapa….

Cause aku dapat barangnya dari distributor, jadi ya aku complain juga donk, ke distributorku. Ngobrol ngobrol. Sampailah pada topik nama produsen. Lho… kok distributorku nyebut A. Trus, kenalanku itu siapa ? Ternyata distributorku kenal blio juga. Kalo menurut distributorku, kenalanku tsb adalah sepupu dari produsennya. Dan kebetulan blio yang pertama memasukkan merk tsb ke internet. You see ??

Kenalan milis tersebut membuat hampir semua anggota milis menganggap bahwa dia adalah produsennya. Malah ada yang menganggap bahwa produsen yang sebenarnya, hanyalah mitra makloon dari kenalan tsb. Waduh…

Trus ada kenalan lain lagi, yang cerita tentang penjualan salah satu merk yang diusungnya, yang sangat… sangat apa ya… aduh, aku susah niruinnya. Pokoke kalo orang baca, bisa langsung berpersepsi bahwa produk tersebut laku keras lah. Kebetulan aku juga lagi cari substitusi untuk produk jenis yang sama. Jadi tak cobalah. Pas hampir sebulan setelah aku ngambil, dia nanya, gimana penjualannya. Kubilang, belum ada, karena item tersebut tak tarik dari toko ITC. Ujug ujug dia cerita juga, kalo barang tsb di tokonya juga susyah keluar. Walah….

Insya Allah nulis ini bukan karena syirik sama ybs. Kita cuman heran aja. Ada ya orang yang seperti itu. Sebenarnya begitu itu kenapa ya. Apa jauh di dalam hatinya, memang dia berpikir seperti itu. Atau sebenarnya dia mengakui yang sebenernya tapi pengen diakui berbeda. Atau hanya karena salah nyebut aja. Atau kebiasaan. Atau ??

Trus… sebenernya boleh gak ya, dari sisi agama ? Soale kalo dibilang bohong… gak juga. Lha wong kalimat yang dipilih itu sedemikian rupa, sehingga bener juga. Jadi gak bohong. Tapi ya itu, persepsi yang terbentuk dari kalimatnya, bisa lain. Nah, kalo persepsi lain itu muncul dari satu dua orang, bisa jadi memang pendengarnya yang beda persepsi. Tapi kalo semua pendengarnya mempersepsikan hal yang berbeda, means subyeknya khan…

Dan karena kita masih binun sama boleh enggaknya dari sisi agama ini, jadinya kita juga jadi ragu untuk mengingatkan. Lha gimana, kalo ternyata boleh, mosok diingatkan. Agama aja membolehkan kok kita ngelarang. Jadinya ya itu, kalo denger, kita cuman nahan nahan aja supaya gak terlontar ucapan yang bisa bikin ybs ‘keweleh’. Hhh… jadi gemes. Apa sih, bahasa Indonesianya keweleh ??