Thursday, July 26, 2007

Ilham : buah istighfar di Gunung Halimun

Saudaraku, aku ingin berbagi mengenai kesadaran terhadap kesalahan diri, yang berbuah kemampuan untuk mencapai tujuan dengan selamat. Pengalaman ini bercermin pada saat diriku mendaki Gunung Halimun.

Pada saat ini usia ku 33 Th, tinggi 167 Cm dan berat hampir 100 Kg. Dengan berbekal semangat dan niat yang ikhlash aku mencoba untuk mendaki ketinggian gunung Halimun. Walaupun ada gangguan di hati karena fisik yang kurang mendukung ( over weight body) dan keletihan karena lembur-lembur di kantor -- ah luar biasa sekali. Kalau dipikir, kerjaan terus menerus mengalir tiada habisnya. Kalau tidak di stop kapan lagi bisa menikmati udara murni segar tanpa polusi di tengah ketinggian dan keindahan Alam. Subhanalloh. Saudaraku, keraguan itu coba kutepis karena tahun lalu pernah kusinggahi Gunung Gede dengan selamat.

Ekspedisi yang pernah aku lakukan bersama teman-teman seperjuangan untuk menaklukan Gunung Gede melalui jalur yang sangat sulit, yaitu melalui jalur gunung putri, bukan dari Cibodas sebagaimana para wisatawan melakukannya. Dalam benak ku jalur ini adalah jalanan yang sangat berat, karena tanjakan yang nggak ada habisnya dan kemiringan diatas 45 derajat. Apalagi pada saat hampir menuju puncak rata - rata kemiringan mencapai 80 derajat. Walaupun terseok-seok, Alhamdulillah sampai juga di puncak.

Karena pengalaman di gunung Gede tahun lalu itu, dan merasa umurku masih belum terlalu tua, timbullah sejumput kesombongan dalam hatiku ketika mendaki Gunung Halimun. Inilah pula yang membuat rusaknya niat yang ikhlash, sehingga timbul aktifitas saling mengejek, bergurau tentang kekuatan teman satu kelompok. Walaupun gurauan yang kami lontarkan kukira masih dalam batas-batas kewajaran untuk ukuran umum, tidak ada makian satu sama lain, tidak ada sama sekali, hanya GURAUAN. Misalnya ketika aku bergurau terhadap seniorku yang usianya 41 Th. “Mas, bawaan jangan terlalu berat lho, kayak tahun lalu. Padahal makanan disimpen untuk sendiri khan ? Nggak bagi-bagi sama temen. Jadinya sampeyan ngos-ngosan, trus ngerepotin temen. Pokoke kalau kram kakinya, jalan sendiri ya”. Yang ku tembak cuma mesem-mesem, dan ngedumel sendiri sambil mikir gimana caranya mbales ejekan temennya. Memang beliau paling sering ku jadikan sasaran gurauan gara-gara jalannya paling lambat he he.

Ketika terdengar suara pimpinan regu menginstruksikan keberangkatan kami pada waktu sore, semua siap siaga dan bergerak beraturan sesuai urutan keberangkatan. Kebetulan kelompokku kebagian urutan kedua keberangkatan, “Alhamdulillah bisa cepet sampe nih pikirku”. Langkah tegap menghiasi perjalanan kami, senyum tersungging di bibir tanda kesiapan mental kami. Keyakinan untuk melalui 6 bukit turun naik menuju puncak Halimun sangat kuat. Mengutip teori dari instruktur bahwa setengah jam pertama merupakan siksaan bagi para pendaki, karena paru-paru kita sedang menyesuaiakan untuk melakukan usaha yang keras. Ketika terlewati ambang batas tersebut dan tubuh sudah beradaptasi maka perjalanan kaki yang jauh tidak akan membuat tubuh menjadi rusak.

Perjalanan pertama kami masih melalui pemukiman penduduk, tegalan sawah kami lewati, sungai kecil mengiringi kami, gemerciknya mengundang untuk turun ke dalamnya. Setelah satu jam terlewati, jalanan semakin menanjak, tapi bukit pertama pun belum muncul dihadapan kami. Nafas mulai memburu, kaki semakin pegal. Ada beberapa orang yang kembali karena tidak kuat mendaki. Tapi semua berlalu, sekarang masing-masing pribadi berjuang untuk mempertahankan diri agar tidak merepotkan orang lain dan berjuang untuk mempertahankan kelompok agar tidak tercerai berai.

Keadaanku pun tidak terlalu baik. Satu setengah jam telah berlalu tapi paru-paruku belum bisa menyesuaikan. Permohonan untuk berhenti dan beristirahat sering aku lontarkan kepada kelompok supaya diriku bisa beristirahat. Tapi hal ini malah membuat perjalanan terhambat, membuat orang lain menderita karena harus menunggu. Jalan jadi macet (pernah melihat kemacetan di gunung ? ya itu yang sedang kualami saat itu). Waktu semakin merambat , mulai di bukit pertama tanjakan juga semakin tinggi. Yang menolong dalam perjalanan halimun kali ini adalah, karena setelah jalan menanjak ada juga jalan yang menurun. Tidak seperti di gunung Gede via gunung putri hampir sama sekali tidak ada jalan menurun. Sudah banyak doa yang dibisikkan. Ucapan Subhanalloh ketika jalan menurun dan ucapan Alloh Maha Besar ketika jalan mendaki terus dilantunkan. Tetapi kekhawatiran semakin meningkat. Bukan hanya nafas yang terganggu tapi juga semua indra semakin payah. Malam menjelang, kepekatan membayang. Kaki terasa menegang dan aku khawatir makin lama bisa kejang/kram. Bayangan menakutkan mulai mengikuti. Tiada catatan dalam hidupku bahwa ketika mendaki bukit atau gunung dengan dibopong. Malu rasanya.

Permohonan agar diberi kekuatan terus kuupayakan. Hampir saja diriku berburuk sangka bahwa Alloh ingin mempermalukan diriku dihadapan teman-temanku. Tapi kekuatan yang kutunggu-tunggu tak kunjung tiba. Malah temanku tadi itu yang kondisi awalnya sama denganku, bersorak girang karena beliau mendapatkan second energy untuk mencapai puncak pendakian. Terbukti beliau selalu mensupport diriku agar semangat dan tetap berjalan sampai puncak, dengan teriakannya yang lantang. Aduh, hatiku terasa bercampur aduk. Ya malu, marah kepada diriku, dan takut kalau tidak bisa sampai di puncak. Hampir saja terjadi halusinasi, karena jalanan gelap dan pekat -- mungkin tidak perlu diceritakan disini apa yang terjadi. Alhamdulillah, lantunan dzikirlah yang membuatku senantiasa berfikir jernih.

Ketika kemarahan terhadap lingkungan dan diriku mereda, mulailah berganti dengan rasa pasrah. Apa yang terjadi biarlah semua terjadi, baik itu memalukan maupun tidak. Sudah kulucuti semua kesombongan yang tadi sempat melekat. Ku ganti dengan permohonan ampun. Istighfar kujejalkan dalam hati ku. Kondisi demikian membantuku untuk berfikir, memikirkan apa yang sudah terjadi di waktu lalu. Astaghfirulloh, aku mohon ampun atas semua kesalahan, baik kesalahan yang terjadi pada saat sebelum pendakian ke Gunung Halimun ini (bergurau, mengejak, merendahkan oran lain dll ), maupun kesalahanku yang terdahulu. Aku menangis tanpa berbunyi. Hanya mataku yang basah dengan air mata. Teman-teman lain tidak melihat karena suasana sangat gelap dan masing-masing sibuk berusaha agar senantiasa berjalan ke depan. Dan aku salut terhadap kekompakan kelompokku. Walaupun diriku kepayahan, mereka senantiasa menunggu. Itulah gunanya teman, dan itu pulalah gunanya saudara.

Dari kejadian itu hatiku semakin jernih, akal pikiranku pun berjalan. Aku mencoba mengingat apakah ada cara agar diriku bisa bertahan dengan kondisi demikian. Lalu sekelebat aku mengingat ucapan instruktur, bahwa pangkal kekuatan untuk mendaki adalah kekuatan kaki. Apabila kaki terluka, maka akan bertambah sulitlah untuk mencapai ke puncak. Luka disini adalah bukan hanya luka tergores, akan tetapi bisa juga luka karena terkilir atau nyeri bagian dalam karena kaki tidak kuat menahan beban. Beliau mencontohkan bahwa bakul-bakul pasar yang menyunggi beban berat di kepala, ketika berjalan jalannya melangkah kecil-kecil, tidak lebar-lebar. Hal ini bertujuan untuk mengurangi beban di kaki agar bisa mencapai jarak tempuh yang jauh. Pemikiran ini pun bertambah kaya, dengan seruan salah seorang temanku yang berjalan di belakang, agar aku melangkah kecil-kecil saja. Kalau perlu jaraknya hanya satu kali sepatu atau satu kali tapak kaki.

”JARAK SATU SEPATU”. Kalimat ini terus terngiang di telingaku, dan aku coba untuk melakukannya. Untuk mengurangi luka kram di kakiku hal itu sangat masuk akal. Dengan melakukannya aku berharap agar kakiku bisa sembuh dari rasa kejang. Tapi kalau dipikir dengan melangkah hanya berjarak satu sepatu, kapan sampai ke puncaknya ? Bismillah ku ucapkan. Sebelum melakukan hal tersebut, aku berunding dengan pimpinan regu dan teman yang berada di belakangku, bahwa aku sanggup berjalan dengan sedikit istirahat, dengan catatan bahwa aku akan melangkah seperti siput -- pelan tapi pasti. Di tengah kegamangan bahwa cara ini akan membuat sampai dengan cepat ke puncak, pelan pelan kekuatanku tumbuh kembali. Rasa nyeri di kaki berangsur-angsur hilang. Kalau pegal dan capek biasa lah, namanya juga mendaki gunung.

Alhamdulillah. Dengan melangkah kecil-kecil tapi pasti, rutinitas tarikan nafasku mulai berjalan teratur sehingga asupan energi dapat tersalurkan dengan baik ke kaki. Rasa nyeri pun tidak lagi terjadi. Hanya pada saat meloncat aku harus berhati-hati agar tidak ada hentakan yang lebih sehingga terjadi trauma kembali di kaki. Di bukit kedua aku memperoleh ilham bagaimana caranya mendaki untuk kondisiku. Bukit ketiga, empat, dan bahkan bukit kelima yang memiliki tanjakan dengan kemiringan 80 derajat -- sampai-sampai aku harus merangkak untuk mendakinya, alhamdulillah bisa terlewati dengan baik. Wajah kembali berseri, sinar semangat kembali datang. Kegelapan malam tidak terasa pekatnya dengan adanya rembulan di hati. Wahai puncak Halimun, aku datang dengan kesadaran, tanpa membawa kesombongan.

Tidak terasa, perjalanan kami serasa pasti. Kelompok kami jarang beristirahat. Banyak kelompok lain terlewati karena banyak waktu digunakan untuk beristirahat. Pada saat mendaki gunung, dikarenakan jarak yang sangat jauh dan kondisi angin gunung yang dingin, terlalu banyak berhenti untuk istirahat akan membuat perjalanan semakin lama dan membuat badan menjadi membeku. Maka terjawablah pertanyaanku tadi : kapan aku akan sampai ? Dan semakin kusadari bahwa pekerjaan yang walaupun sedikit tapi dilakukan secara konsisten akan menghadirkan hasil yang luar biasa. Ibarat setetes air yang menjatuhi seonggok batu, apabila dilakukan terus menerus maka suatu saat batu tersebut akan tembus. Ketika dalam keadaan payah, banyak dari kami yang bertanya kapan akan sampai. Tapi setelah banyak berjalan jauh, kami tidak peduli kapan akan sampai. Yang kami tahu hanya bahwa kami harus terus berjalan.

Seberkas sinar datang dari langit, seakan tiada penghalang pepohonan yang kami temui dalam perjalanan. Teriakan "Allohhu Akbar, Alloh maha besar", berkumandang dari teman kelompokku yang paling depan. ”Kita sudah sampai !” Aku pun membalas dengan teriakan yang sama : AllohuAkbar !! Dengan rasa syukur yang meluap dari dalam dada. Seraya menyadari bahwa aku punya perasaan bahwa aku tidak percaya telah sampai di puncak. Hilang semua kepenatan. Kunikmati sensasi kebahagiaan dengan berdzikir. Walaupun besoknya kami baru tahu harus berjalan dengan jarak yang sama untuk menuruninya.

Kami memasuki tenda yang sudah disediakan dan tercatat sebagai kelompok nomor dua memasuki puncak Halimun. Setelah berbenah agar angin dingin tidak masuk ke kemah, kemudian berganti dengan pakaian kering, terus sholat magribh dan Isya berjamaah. Terakhir kami pun tidur untuk merehatkan badan ini agar kuat turun ke bawah. Alhamdulillah, satu proses sudah kami hadapi, hayati dan nikmati...............

--> Asli ditulis oleh my beloved husband, sepulang dari Gunung Halimun dan setelah melewati rakor terlama sepanjang sejarah. (dengan sedikit editing dari pemilik blog denk, hehehe...)